Di hadapan puluhan anak-anak, seorang bocah perempuan berjalan dan
menduduki bocah perempuan lainnya, seolah yang ia duduki itu kursi. Di
depannya, seorang anak lelaki tengkurap, seakan sedang menjadi meja. Si
anak perempuan mengambil minum yang ada di atas punggung si meja.
Setelah
minum, si anak peremupuan memencet remote control dan mengarahkannya ke
dua anak laki-laki yang berperan sebagai televisi. Saat itu, salah
seorang dari mereka bernyanyi, seolah tayangan di televisi sedang
menampilkan video musik.
Rupanya, anak-anak tersebut sedang
terlibat dalam pelatihan teater partisipatif, sebuah aliran teater yang
pemain dan penonton bermain bersama. Makanya ada anak yang berperan
menjadi bangku meja, televisi, dan sebagainya.
Pada April lalu,
sekitar 30 anak dari Aceh Tengah, Aceh Utara dan Pidie, berkumpul untuk
mengikuti pelatihan teater yang diadakan the Japan Foundation dan
Komunitas Tikar Pandan. Selama seminggu mereka diajak berlatih teater
dan berbagi pengalaman. Maklumlah, anak-anak tersebut berasal dari tiga
wilayah konflik di Aceh yang memiliki kultur dan bahasa yang berbeda.
Menurut
Direktur Eksekutif Komunitas Tikar Pandan Azhari Aiyub, selama ini
semua pihak, baik pemerintah maupun organisasi nonpemerintah (NGO),
selalu mengarahkan bantuannya ke daerah yang terkena dampak tsunami.
Bahkan, anak-anak yang ada di wilayah tersebut dibuat sibuk dengan
berbagai kegiatan yang diadakan aktivis NGO. Dari pagi hingga malam,
anak-anak menghadiri kegiatan bermain bersama, mengaji, hingga belajar.
"Anak
jadi tak punya waktu luang, saking sibuknya. Padahal kegiatan itu
harusnya membuat anak punya waktu luang. Sayangnya, anak-anak di daerah
konflik jadi terlupakan," kata Azhari.
Rekonsiliasi Aceh, melalui
kesepahaman bersama yang ditandatangani di Helsinki pada 2005 lalu,
hanya dalam tataran politik. Artinya, hanya golongan elit yang
berekonsiliasi. Sedang di level bawah, yakni masyarakat, rekonsiliasi
belum terjadi.
"Saat the Japan Foundation ingin memberi bantuan
ke daerah yang terkena tsunami, kami usulkan agar jangan di sana karena
sudah terlalu banyak NGO yang berperan di sana. Kami mengusulkan
anak-anak di daerah konflik," ujarnya.
Konflik yang terjadi di
Aceh, disadari atau tidak, masih tertanam di ingatan anak-anak Aceh.
Pasalnya, konflik tersebut terjadi sangat dekat dengan mereka. Bahkan,
ada seorang anak yang keluarga intinya terpecah pada dua kubu, Indonesia
dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).
Azahari mengamati, selama ini
anak yang orangtuanya dibunuh GAM, selalu ingin membalaskan dendam
dengan membunuh si pembunuh. Begitupun dengan anak yang orang tuanya
dibunuh oleh tentara.
Mengumpulkan anak untuk pelatihan teater
adalah bagian tersulit. Masalahnya ada di izin orang tua. Yulfan Marpi,
Direktur Pelatihan Teater tersebut, mengatakan bahwa orang-orang Aceh
selalu merasa curiga jika ada orang asing yang ingin masuk ke daerah
mereka.
"Pengalaman mengajarkan mereka tak mudah percaya dengan
orang asing. Saat kami hendak mengajak anak-anak, kami temui orang
tuanya dulu. Mereka ingin tahu kami siapa, apa maksud kami, dan apa yang
bisa kami berikan ke mereka," cerita Yulfan.
Ia melajutkan,
kompensasi sudah menjadi keharusan. "Semua yang menyangkut kepentingan
publik harus diberi kompensasi. Padahal dulu orang-orang sukarela
membersihkan meunasah, sekarang kalau tak ada bayarannya, mereka tak
mau."
Anak-anak yang ikut pun akhirnya diberi beasiswa pendidikan
yang tak bisa disalurkan untuk keperluan lain. Tak sampai di sana,
orang tua juga bersikeras ingin melihat kegiatan anak-anak mereka.
Makanya, pada dua hari terakhir orang tua juga hadir di tempat tersebut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar