Setiap anak yang baru lahir netral terhadap nilai-nilai. Disadari atau
tidak orang tua dan lingkunganlah yang membentuk mereka menjadi
pembohong, pemarah, atau segala sifat negatif lainnya.
Saat masih
berusia setahun, anak pasti mendapat imunisasi. Ketika dibawa ke rumah
sakit, posyandu, atau puskesmas, anak menangkap segala gambaran yang ada
di sana. Karena merasa lingkungan tersebut asing, anak bereaksi dan
orang tua menenangkan.
"Tenang aja nggak sakit kok" atau "rasanya
cuma seperti digigit semut" adalah alasan-alasan yang sering orang tua
katakan pada anak. Karena orang tua adalah orang yang dekat dengan
mereka, otomatis si anak percaya dengan perkataan tersebut. Namun,
perngalaman saat disuntik ternyata sakit. Dan saat itulah anak belajar
berbohong.
Tanpa disadari, orang tua selalu mengulang-ulang
proses berbohong. Sebagai contoh, saat anak diajak berbelanja ke
supermarket. Karena tertarik pada sebuah mainan, anak memasukkannya ke
keranjang belanja tanpa diketahui ibu. Saat di kasir atau sepulang di
rumah, orang tua memberi pengertian pada anak.
"Lain kali, kalau
mau mainan bilang mama dulu, nanti pasti dibelikan," adalah perkataan
yang sering disampaikan orang tua ke anak. Di lain waktu, saat anak
ingin mainan, ia meminta izin seperti permintaan orang tuanya. Dengan
berbagai alasan, orang tua mengelak membelikan.
Saat itu pun anak
belajar tentang kebohongan. "Harusnya kalau sudah ijin pasti dibelikan.
Ini kok tidak?" kira-kira begitu pikir si anak.
Menurut
Koordinator Nasional Living Values Education Program Fidelis Elisati
Waruwu, nilai kehidupan adalah nilai-nilai yang menghidupkan seseorang.
Baik itu membuatnya bertahan hidup ataupun menjadi dewasa. Nilai ini ada
pada setiap makhluk. Nilai itu berupa nilai kejujuran, keadilan, penuh
kasih sayang, yang dilengkapi potensi bawaan seperti kemampuan berpikir,
berasa, dan berperilaku.
"Nilai-nilai negatif dimasukkan ke anak
oleh orang tua dan diteruskan selama hidup mereka," kata Fidelis pada
peserta Konfrensi Guru Indonesia yang berlangsung pekan lalu, di
Jakarta.
Teori Ekologi Bronfenbrenner menyebutkan lima sistem
ekologi perkembangan, yaitu mikrosistem, mesosistem, eksosistem,
makrosistem, dan kronosistem. Yang termasuk dalam mikrosistem adalah
keluarga, teman-teman sebaya, sekolah, dan lingkungan. Dalam mikrosistem
inilah terjadi interaksi yang paling langsung dengan agen-agen sosial.
Lingkungan
mesosistem meliputi hubungan antara beberapa mikrosistem atau beberapa
konteks. "Misalnya hubungan antara pengalaman sekolah dengan pengalaman
keluarga atau teman sebaya," kata Fidelis. Eksosistem melibatkan
pengalaman individu yang tak memiliki peran aktif di dalamnya. Semisal
pengalaman kerja yang mempengaruhi hubungan ibu dan anak.
Makrosistem
meliputi kebudayaan dimana individu hidup. Kronosistem meliputi
pemolaan peristiwa-peristiwa sepanjang rangkaian kehidupan dan keadaan
sosiohistoris. "Maka itu, dalam membangun budaya sekolah berbasis nilai
harus mengandalkan komitmen dari semua pihak. Untuk menghadirkan
nilai-nilai, seperti penghargaan, toleransi, tanggung jawab, kasih
sayang, kedamaian, kejujuran, dan kerendahan hati, haruslah ditekankan
dalam setiap interaksi. Baik itu interaksi guru dengan guru, guru dengan
murid, dan murid dengan murid di lingkungan sekolah," jelas Fidelis.
Dukung prestasi
Pada
dasarnya, lanjut dia, pembangunan budaya nilai itu tidak membutuhkan
mata pelajaran khusus atau dimasukkan ke kurikulum. "Bila setiap orang
di sekolah itu menghidupi nilai dalam perilakunya, dalam cara bicara,
dan berelasi satu dengan lain, maka dengan sendirinya nilai tersebut
menghidupi mereka."
Sebagai contoh, untuk menerapkan nilai
kerapihan, gurulah yang harus memberi contoh pada anak. "Jika semua guru
konsisten berpakaian rapih, saya jamin hanya butuh dua minggu untuk
menanamkan nilai tersebut. Anak pasti mengikuti orang-orang yang bisa
mereka percaya. Guru mengajarkan berbohong, anak pasti megikuti.
Begitupun jika guru mengajarkan disiplin atau nilai-nilai positif"
ucapnya.
Hanya saja, lingkungan mesosistem si anak harus
mendukung. Caranya, guru bisa memberi pemahaman ke orang tua dan
mengajak mereka menerapkan nilaiu yang sama. "Percuma kalau anak rapih
di sekolah, tapi di rumah terjadi kondisi yang berbeda. Usaha pihak
sekolah harus didukung," ujarnya.
Hal ini tentu tidaklah mudah,
karena mengandaikan perubahan pola pikir, pola laku, dan pola rasa
masing-masing pihak, terutama kepala sekolah dan guru. Bila guru
berubah, maka dengan sendirinya murid juga akan berubah. Maka kunci
pembangunan budaya sekolah itu ada pada guru dan kepala sekolah.
Sementara
itu, Romy Cahyadi, Direktur ProVisi Education, mengatakan, pendidikan
nilai mendukung pencapaian prestasi sekolah. Hal tersebut ia amati
berdasarkan pengalaman enam tahun menjadi konsultan pendidikan pada
berbagai sekolah negeri dan swasta.
"Sekolah-sekolah berprestasi
umumnya memiliki budaya sekolah yang berbasis nilai yang kuat. Sekolah
yang tak ada nilai-nila ini hampir selalu prestasi akademiknya buruk,"
ujar Romy.
Yang tak kalah penting, harus ada refleksi bersama
dalam menentukan nilai yang dianut warga sekolah. Setiap lingkungan
punya perbedaan norma dan nilai, itupun selalu berubah seiring
berkembanganya lingkungan tersebut. Untuk itu, nilai yang ditanamkan
haruslah yang bersifat universal semisal penghargaan, tanggung jawab,
kerja sama, kerendahan hati, toleransi, kejujuran, dan intergritas. Ika
Karlina Idris
Tidak ada komentar:
Posting Komentar