Masa Orientasi Sekolah (MOS) selama ini selalu menjadi tradisi sekolah
dan dilakukan dengan cara yang sama. Padahal saat MOS itulah guru
berkesempatan mengenali siswa. Bukan sekedar tahu asal sekolah mereka,
biodata, nilai rapor, atau hasil psiko tes.
Pada dasarnya,
peralihan ke sekolah yang lebih tinggi mungkin tidak terlalu sulit bagi
sebagian siswa. Namun ada banyak faktor yang mempengaruhi siswa-siswa
lain sehingga mereka membutuhkan waktu lebih lama untuk melakukan
penyesuaian diri dengan sekolah barunya. Bahkan, siswa baru kini tidak
semata-mata harus menyesuaikan diri dengan lingkungan sekolah yang baru,
tapi juga harus menjadi bagian dari budaya sekolah yang mendasari
komunitas pembelajar.
Menurut Direktur Konsultan Manajemen dan
Pendidikan Open Mind Tendi Naim, selama ini guru selalu memberitahu
murid, padahal harusnya terjadi komunikasi dua arah sehingga mengerti
tentang anak. "MOS berpotensi sebagai dasar penciptaan komunitas
belajar. Kegiatan ini juga bisa digunakan untuk mengenal anak dari awal,
termasuk potensi masalahnya," kata Tendi.
MOS haruslah bertujuan
untuk orientasi siswa, pondasi pengembangan komunitas pembelajar, serta
mengembangkan keahlian dan nilai siswa. Lalu melalui kegiatan ini,
sekolah juga harus mengadakan pemetaan siswa. Maksudnya, sekolah harus
bisa membuat rekomendasi dari setiap anak dan langkah-langkah untuk
mengoptimalkan kemampuan anak.
"Untuk itu, sekolah juga
membutuhkan data lain, seperti karakteristik siswa, kebiasaan, target,
komitmen, potensi masalah, dan potensi dukungan masalah," jelas Tendi.
Salah
satu sekolah yang sudah menerapkan MOS seperti ini adalah SMP Taruna
Bakti, Bandung, Jawa Barat. Sejak tahun ajaran 2006-2007, sekolah
tersebut ingin menerapkan MOS yang berbeda. "Bukan tradisi yang itu-itu
saja," kata Tendi.
Jika MOS diadakan selama tiga hari, lanjutnya,
maka biarkanlah hari pertama diisi oleh Osis. Setelah itu barulah
kesempatan untuk mengembangkan skill dan value. "Skill yang harus
dikembangkan terdiri dari self management, motivasi, komitmen, develop
vision, komunikasi, teamwork. Sedang nilai yang harus ditanamkan adalah
kejujuran, tanggung jawab, disiplin, visioner, kerja sama, adil, dan
peduli. Sekolah sebisa mungkin harus membuat permainan dengan kombinasi
nilai tersebut."
Selain itu, kegiatan ini juga harus menggali
karakteristik unik siswa dan potensi masalah yang akan muncul di
kemudian hari. Semuanya, lanjut Tendi, harus dilakukan dengan fun
(gembira), sehingga kesadaran mengenai diri sendiri, lingkungan, dan
masa depan mereka diperoleh dengan sendirinya.
Yang tak kalah
penting, MOS harus melibatkan guru Bimbingan Konseling (BK). Selama ini,
guru BK hanya berperan dalam mengatasi siswa bermasalah, padahal
potensi itu bisa dikurangi. "Guru BK juga harus bisa membuat murid
merasa dihargai. Kalau selama ini dipanggil ke ruang BK karena
bermasalah, cobalah memanggil siswa hanya untuk mengucapkan selamat
ulang tahun atau prestasi belajarnya," kata Tendi.
Lalu, untuk
menjaga keberlangsungan pengembangan skill dan penanaman nilai,
sebaiknya ada tindak lanjut dari kegiatan MOS. Kegiatan tersebut bisa
disesuaikan dengan karakteristik sekolah, bisa berupa ekstrakurikuler,
Latihan Dasar Kepemimpinan, atau sistem Big Brother and Big Sister
(kakak dan adik). Dalam sistem kakak adik, setiap anak kelas III
memiliki adik angkat anak kelas II dan I.
"Kalau ada masalah dengan si kakak, si adik bisa mengingatkan. Jadi ada rasa tanggung jawab untuk memberi conto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar