Selasa, 19 Februari 2013

mengambil keputusan ituu.......

Ada banyak pertimbangan kita di dalam mengambil sebuah keputusan, salah satunya ketika kita tidak bisa membuat keputusan itu adalah karena memikirkan kemashalatan orang banyak, tidak hanya diri sendiri.
Seperti sekarang ini, sebenarnya kalau boleh jujur saya sudah sangat yakin akan keputusan yang saya ambil tapi yah lagi-lagi setiap mengambil keputusan kita juga harus memikirkan orang di sekitar kita. Sekiranya keputusan itu kita ambil apakah pas ataukah cocok dengan orang-orang yang ada di sekitar kita.
Apakah mereka merasa nyaman ataukah tidak ada yang merasa tersakiti ketika kita mengambil keputsan itu.
Yaah.. lagi-lagi memang bukan persoalan yang mudah, khususnya saya sendiri. Sebenarnya saya adalah tipe orang yang sedikit individualistik tidak tau karena apa, tapi karena saya sering merasa "hidup sendiri".     "   "Hidup sendiri" bukan berarti saya tinggal seorang diri, tidak.. tapi mungkin jika saya lihat ke dalam diri saya, bukan bermaksud bercerita sedih atau minta dikasihani, tapi mungkin karena memang itulah penyebabnya. Saya sudah lama ditinggal kedua orang tua,saya saat itu ketika papa saya sudah duluan menghadapNya  saat saya kelas tiga SD, lalu mama saya pergi juga menghadapNya saat saya kelas dua SMP, pada saat itu juga kakak saya yang tertua sedang kuliah di jogja dan abang saya  memang tinggal dengan saya, waktu itu karena alasan kami masih "terlalu kecil" dan tidak ada yang mengurus sepeninggal mama saya, saya dan abang saya harus pindah ke rumah abangnya papa saya. Yah setelah itu abang saya juga pindah ke rumah abangnya papa saya yang satu lagi. Jadilah saya semakin merasa "hidup sendiri" walau sebenarnya di rumah abangnya papa saya itu rame orang.

      Yah kembali lagi soal mengambil keputusan, sejujurnya biasanya dalam mengambil keputusan saya itu cenderung egois, karena merasa sendiri itu. Tapi sekarang sudah tidak bisa lagi, karena sudah setahun belakangan ini saya pindah rumah dan tinggal berdua dengan kakak saya. Mau tidak mau, suka tidak suka, mudah atau sulit saya harus sudah bisa mengambil keputusan yang tidak hanya untuk diri saya pribadi tapi juga untuk orang lain.
Ini juga efek positif dari keikutsertaan saya dalam sebuah keorganisasian yang bergerak dalam bidang kerohanian islam. Jujur awal-awal hingga mungkin hampir mencapai tahap akhir di keterlibatan saya dalam organisasi tersebut saya susah untuk menerima keputusan atau mengambil keputusan sesuai dengan yang disepakati jamaah. untuk saya itu begitu sulit dan terkadang berada diluar kemampuan daya pikir saya, tapi sekali lagi mau atau tidak mau, suka atau tidak suak, mudah satupun sulit saya harus sudah mulai belajar. Mulai belajar memikirkan perasaan orang lain, mulai berpikir jika saya ambil langkah ini apa dampaknya bagi orang lain. Tapi ini juga tidak selamanya benar, seperti cerita seorang ayah dan anak yang menaiki keledainya. Ketika si ayah yang menaiki keledainya dan si anak menuntun maka orang-orang yang berada disekitar mereka berkata "dasar ayah yang jahat, masa' anaknya dibiarkan menuntun keledai sementara si ayah enak-enakan menaiki keledainya". Atau ketika si anak yang menaiki keledai dan si ayah yang menuntunnya maka orang-orang disekitar mereka berkata yang lain lagi "dasar anak durhaka, mengapa ayahnya yang sudah tua dibiarkan menuntun keledai sementara ia yang masih muda dan kuat enak-enakan duduk di atas keledai" atau ketika mereka mengambil keputusan untuk menaiki keledai itu berdua maka tanggapan orang disekitar mereka juga berbeda "dasar ayah dan anak yang jahat, tega-teganya menyiksa bintang dengan menaikinya berdua, apa mereka kira keledai itu tidak bisa mati."
Yah itulah ketikapun kita mengambil keputusan dan terus-terusan mendengarkan kata orang lain, maka juga begitu hasilnya, tidak ada keputusan kita yang benar.

      Sekali waktu saya pernah bertanya dengan seorang sahabat saya yang seorang lelaki, ketika itu kami sedang ngobrol-ngobrol lewat sms, saya bertanya padanya tentang mengambil keputusan dan kemashalatan orang banyak, maka dijawabnya dengan jawaban yang saya bilang simpel tapi mengena, kurang lebih kata beliau "jikalau itu tidang melanggar syariah agama, yah ambil saja keputusan itu, kalau terus-terusan mikirin orang lain maka anti akan seperti cerita ayah,anak dan keledainya".
Sesungguhnya saya merasa yang dikatakan beliau itu adalah benar, tapi masalahnya sekarang saya sudah memilih untuk tinggal dan bersosialisasi dengan orang-orang di sekitar saya, dan berarti saya sudah jadi bagian dari mereka.
Dan saat ini sebenarnya saya juga ingin mengambil sebuah keputusan atau lebih teapatnya sebuah usaha yang harus dengan sebuah keputusan, saya tau jika dipandang dari sudut pandang agama  adalah amat baik, tapi saya tidak tau jika dipandang oleh orang-orang disekitar saya.
 Maka saat ini ketika saya mengambil keputusan tetapi tidak memikirkan kemashalatan orang banyak maka sungguh terkadang saya tidak siap mebayangkan apa yang akan terjadi ke depannya.

Sungguh diri ini amat lemah dan butuh banyak penguatan.

Wallahu'alam Bishawab


Imam Ahmad meriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam sering mengucapkan
"Yaa muqallibal quluubi wal abshaari, tsabbit qalbii 'alaa dinik."
("Wahai dzat yang membolak-balikkan perasaan dan mata hati, teguhkanlah hatiku dalam agamaMu.")

Para sahabat lalu bertanya, "Wahai Rasulullah, kami beriman kepadamu dan ajaran yang engkau bawa. Adakah engkau masih mengkhawatirkan kami?" "Ya", jawab beliau, "sesungguhnya, hati itu diantara dua jari-jemari Allah. Dia membolak-balikannya dengan sekehendak-Nya."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar