Selasa, 16 Oktober 2012

menyatukan anak aceh lewat kesenian

Di hadapan puluhan anak-anak, seorang bocah perempuan berjalan dan menduduki bocah perempuan lainnya, seolah yang ia duduki itu kursi. Di depannya, seorang anak lelaki tengkurap, seakan sedang menjadi meja. Si anak perempuan mengambil minum yang ada di atas punggung si meja.

Setelah minum, si anak peremupuan memencet remote control dan mengarahkannya ke dua anak laki-laki yang berperan sebagai televisi. Saat itu, salah seorang dari mereka bernyanyi, seolah tayangan di televisi sedang menampilkan video musik.

Rupanya, anak-anak tersebut sedang terlibat dalam pelatihan teater partisipatif, sebuah aliran teater yang pemain dan penonton bermain bersama. Makanya ada anak yang berperan menjadi bangku meja, televisi, dan sebagainya.

Pada April lalu, sekitar 30 anak dari Aceh Tengah, Aceh Utara dan Pidie, berkumpul untuk mengikuti pelatihan teater yang diadakan the Japan Foundation dan Komunitas Tikar Pandan. Selama seminggu mereka diajak berlatih teater dan berbagi pengalaman. Maklumlah, anak-anak tersebut berasal dari tiga wilayah konflik di Aceh yang memiliki kultur dan bahasa yang berbeda.

Menurut Direktur Eksekutif Komunitas Tikar Pandan Azhari Aiyub, selama ini semua pihak, baik pemerintah maupun organisasi nonpemerintah (NGO), selalu mengarahkan bantuannya ke daerah yang terkena dampak tsunami. Bahkan, anak-anak yang ada di wilayah tersebut dibuat sibuk dengan berbagai kegiatan yang diadakan aktivis NGO. Dari pagi hingga malam, anak-anak menghadiri kegiatan bermain bersama, mengaji, hingga belajar.

"Anak jadi tak punya waktu luang, saking sibuknya. Padahal kegiatan itu harusnya membuat anak punya waktu luang. Sayangnya, anak-anak di daerah konflik jadi terlupakan," kata Azhari.

Rekonsiliasi Aceh, melalui kesepahaman bersama yang ditandatangani di Helsinki pada 2005 lalu, hanya dalam tataran politik. Artinya, hanya golongan elit yang berekonsiliasi. Sedang di level bawah, yakni masyarakat, rekonsiliasi belum terjadi.

"Saat the Japan Foundation ingin memberi bantuan ke daerah yang terkena tsunami, kami usulkan agar jangan di sana karena sudah terlalu banyak NGO yang berperan di sana. Kami mengusulkan anak-anak di daerah konflik," ujarnya.

Konflik yang terjadi di Aceh, disadari atau tidak, masih tertanam di ingatan anak-anak Aceh. Pasalnya, konflik tersebut terjadi sangat dekat dengan mereka. Bahkan, ada seorang anak yang keluarga intinya terpecah pada dua kubu, Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM).

Azahari mengamati, selama ini anak yang orangtuanya dibunuh GAM, selalu ingin membalaskan dendam dengan membunuh si pembunuh. Begitupun dengan anak yang orang tuanya dibunuh oleh tentara.

Mengumpulkan anak untuk pelatihan teater adalah bagian tersulit. Masalahnya ada di izin orang tua. Yulfan Marpi, Direktur Pelatihan Teater tersebut, mengatakan bahwa orang-orang Aceh selalu merasa curiga jika ada orang asing yang ingin masuk ke daerah mereka.

"Pengalaman mengajarkan mereka tak mudah percaya dengan orang asing. Saat kami hendak mengajak anak-anak, kami temui orang tuanya dulu. Mereka ingin tahu kami siapa, apa maksud kami, dan apa yang bisa kami berikan ke mereka," cerita Yulfan.

Ia melajutkan, kompensasi sudah menjadi keharusan. "Semua yang menyangkut kepentingan publik harus diberi kompensasi. Padahal dulu orang-orang sukarela membersihkan meunasah, sekarang kalau tak ada bayarannya, mereka tak mau."

Anak-anak yang ikut pun akhirnya diberi beasiswa pendidikan yang tak bisa disalurkan untuk keperluan lain. Tak sampai di sana, orang tua juga bersikeras ingin melihat kegiatan anak-anak mereka. Makanya, pada dua hari terakhir orang tua juga hadir di tempat tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar